LGES Batal Investasi, Pemerintah Segera Berburu Figur Tepat Untuk Investasi Nasional


Mitraaspirasi || Jakarta - Lagi-lagi investor asing, membatalkan proyek investasi bernilai triliunan rupiah di Indonesia. Kali ini buah jatuh pada, Investasi LG Energy Solution (LGES) senilai Rp142 triliun dalam proyek baterai kendaraan listrik. Pembatalan telah resmi pada akhir April 2025. Proyek ini awalnya merupakan bagian dari "Indonesia Grand Package" yang ditandatangani pada 2020, bertujuan membangun rantai pasok baterai kendaraan listrik dari hulu ke hilir di Indonesia.

Dilansir dari berbagai sumber, setidaknya terdapat tiga alasan utama mengapa LGES membatalan rencana investasi tersebut. 

Pertama kondisi pasar dan lingkungan investasi yang tidak mendukung. LGES menyatakan bahwa keputusan mundur didasarkan pada kondisi pasar dan lingkungan investasi yang tidak mendukung dan tidak sesuai dengan ekspetasi perusahaan.

Kedua LGES menilai negosiasi dilakukan terlalu berlarut-larut. Proses negosiasi antara LGES dan mitra lokal, termasuk Indonesia Battery Corporation (IBC) dan PT Aneka Tambang (Antam), mengalami kendala terkait pembagian peran dan investasi dalam proyek tersebut. LGES cenderung ingin fokus pada pembangunan smelter nikel melalui mitra mereka, Huayou Holding, sementara pihak Indonesia menginginkan keterlibatan LGES dalam seluruh rantai pasok, termasuk produksi sel baterai dan daur ulang. 

Ketiga adanya persaingan regional. Untuk alasan ini bahkan diungkapkan oleh Menteri Investasi Rosan Roeslani mengungkapkan bahwa ada upaya dari negara tetangga yang mencoba menarik LGES untuk berinvestasi di negaranya dengan menawarkan insentif besar, termasuk cashback hingga 300%. Upaya ini bertujuan agar produksi baterai dilakukan di negara tersebut, sementara Indonesia hanya menjadi pemasok bahan baku.  

Dari ketiga alasan di atas, setidaknya terdapat dua alasan yang diungkapkan oleh LGES dan satu alasan yang diungkapkan oleh pemerintah. Jika ditimbang-timbang dengan cermat, terutama alasan ketiga, seharusnya pemerintah harus lebih maksimal dalam menyambut investor.

Alasan bahwa terdapat pesaing di regional menjadi tidak masuk akal, karena bukan baru kali ini saja Indonesia kehilangan “investor kakap”. Selain itu sangat kecil kemungkinkannya jika LGES memindahkan rencana investasi tersebut ke negeri lain di ASEAN. Mengapa? Karena hanya Indonesia negara dengan cadangan nikel segudang. Tidak ada negara ASEAN yang pasokan cadangan nikelnya mendekati cadangan Indonesia. 

Sehingga penulis melihat adanya ketidaksiapan pemerintah khususnya Menteri Perdagangan dalam memberikan jaminan keamanan bagi investor dan keuntungan bagi pemerintah. serta memberikan jaminan “kenyamanan” berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Rentetan Batalnya Investor Kakap di Indonesia

Dengan batalnya investasi LGES memperpanjang rentetan catatan buruk pemerintah dalam menggaet investor asing. Jika kita cermati lebih dalam, setidaknya tiga tahun terakhir sejak 2023 hingga 2025, terdapat beberapa contoh investor kakap yang batal investasi. 

Pertama BASF (Jerman) dan Eramet (Prancis) berencana melakukan pengembangan proyek Sonic Bay di Maluku Utara senilai US$2,6 miliar untuk produksi bahan baku baterai kendaraan listrik. alasan pembatalannya adalah karena perubahan pasar nikel global, terutama terkait jenis nikel yang digunakan dalam baterai, membuat keduanya mengurungkan niat untuk melanjutkan proyek tersebut. Alasan pembatalannya kiranya kurang masuk akal, karena Indonesia adalah tempat Dimana nikel mentah diolah menjadi baterai yang dapat ramu menjadi beberapa jenis baterai. Artinya terdapat alasan lain yang merujuk kepada Menteri perdagangan.

Kedua adalah Foxconn (Taiwan) yang berrencana investasi sebesar US$8 miliar untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik di Indonesia. Alasan pembatalannya karena ketidakpastian dari Apple sebagai klien utama Foxconn dan belum adanya investasi langsung dari Apple di Indonesia menjadi faktor penghambat realisasi proyek ini.

Ketiga adalah Apple Inc. (Amerika Serikat) yang berencana melakukan pembangunan fasilitas produksi di Batam untuk memenuhi persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Alasan pembatalan karena fasilitas yang direncanakan tidak secara langsung memproduksi komponen iPhone, sehingga tidak memenuhi syarat TKDN.

Keempat adalah Soft Bank (Jepang) yang berencana investasi sebesar US$40 miliar dalam proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Alasan pembatalannya karena kesepakatan dianggap lebih menguntungkan pihak SoftBank dan merugikan Indonesia, sehingga pemerintah memutuskan untuk tidak melanjutkan kerja sama tersebut.

Kelima adalah Tesla (Amerika Serikat) yang berencana berinvestasi di sektor baterai dan mobil listrik di Indonesia. Alasan pembatalannya karen penerapan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) yang belum optimal di Indonesia menjadi kendala, sehingga Tesla lebih memilih untuk berinvestasi di Malaysia pada 2023. 

Pembatalan investasi oleh beberapa perusahaan asing besar ini menunjukkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dan jaminan dari figure yang kompeten dalam memberikan iklim investasi yang baik. Serta memberikan dampak yang kongket bagi Indonesia. Pemerintah Indonesia harus terus berupaya memperbaiki iklim investasi untuk menarik dan mempertahankan investasi asing yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

*Figur Tepat dan Kepercayaan Investor Asing* 
Di tengah dinamika tersebut, perhatian publik mulai tertuju pada strategi pemerintah dalam mengevaluasi kegagalan rencana proyek investasi yang tidak hanya baru kali ini. Salah satu pendekatan yang mulai dibicarakan kurang kompetennya figure yang menjadi ujung tombak dalam mengurus investasi saat ini. Catatan buruk itu tidak hanya menjadi sekedar catatan, tapi juga menjadi ancaman. Mengapa? 

Karena saat ini Indonesia butuh sekali “suntikan” modal segar ditengah terpaan gejolak ekonomi global dan nasional. Sehingga masuknya investor asing, dapat menjadi “rekomendasi” bagi investor asing lainnnya dalam berinvestasi di Indonesia. Selain itu tentunya dapat menjadi pemasukan tambahan bagi neraca keuangan nasional yang masih minus. Dan tentunya dalam memperkuat posisi Indonesia pada bursa saham dan pasar uang dikancah global.

Sehingga penyegaran dalam kabinet ekonomi Presiden Prabowo Subianto ini kiranya perlu ada evaluasi dan revisi. Artinya perlu segera adanya pergantian (reshuffle) kabinet untuk menyegarkan atmosfer pemerihtah saat ini. Khususny dalam hal investasi. Dalam wacana tersebut, nama Harvick Hasnul Qolbi mencuat sebagai salah satu figure yang dinilai layak untuk mengisi peran strategis.

Harvick Hasnul Qolbi merupakan figur yang tidak asing dalam dunia pemerintahan dan organisasi sosial-keagamaan. Ia dikenal luas ketika dipercaya menjabat sebagai Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Selain di pemerintahan, Harvick aktif dalam kegiatan organisasi, khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Ia pernah menjabat sebagai Bendahara Umum Pengurus Besar NU periode 2015–2020, dan kini memimpin Lembaga Perekonomian NU (LPNU) sebagai ketuanya. Aktivitasnya yang beragam dan konsisten dalam dunia ekonomi kerakyatan menunjukkan komitmennya dalam mendorong pemberdayaan masyarakat serta pembangunan ekonomi nasional dari akar rumput.

Dengan latar belakang tersebut, Harvick dinilai memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dari solusi dalam menghadapi tantangan ekonomi nasional saat ini. Keberadaannya di dalam kabinet diyakini dapat memperkuat upaya pemerintah dalam membenahi fondasi ekonomi Indonesia, terutama melalui kebijakan yang menyentuh langsung sektor produktif.

Langkah-langkah strategis yang bisa diambil antara lain peningkatan kualitas produk domestik. Indonesia harus meningkatkan daya saing ekspornya dengan mendorong kualitas sumber daya manusia, memanfaatkan teknologi, serta menciptakan inovasi dalam proses produksi. Selain itu, perlu dilakukan reformasi birokrasi dengan menyederhanakan prosedur perizinan, sehingga memudahkan aktivitas bisnis dan perdagangan.

Harvick Hasnul Qolbi tak sekadar simbol dari regenerasi birokrasi, tetapi juga representasi dari harapan akan munculnya solusi konkret terhadap kebuntuan investasi dan ketegangan ekonomi global yang sedang berlangsung.

*Oleh Muhammad Sutisna (Co Founder Forum Intelektual Muda)*

Red,


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama