*Oleh: Yakub F. Ismail*
itraaspirasi || Jakarta - Sosok Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa KDM (akronim dari Kang Dedi Mulyadi) belakangan ini cukup mencuri perhatian publik.
Gubernur Jawa Barat itu muncul dalam ragam rupa, baik itu melalui narasi di berbagai media massa baik cetak maupun online serta hadir di hampir semua platform media sosial (TikTok, Twitter/X, IG, Facebook).
Berkat ekspos besar-besaran di hampir seluruh saluran digital, membuat namanya tiada henti dibicarakan serta potongan gambar/videonya tidak pernah sepi dionton melalui layar kaca (HP/Tv).
Iya, berkat peran media massa dan media sosial yang begitu intens dan masif mengangkat namanya, membuatnya semakin dikenal luas oleh khalayak.
Saking populernya, sampai-sampa muncul isu kalau dirinya sedang "dipersiapkan" untuk kontestasi Pilpres 2029 mendatang.
Kabar burung yang disinggung terakhir ini memang santer dibicarakan tidak hanya di level elite, tapi juga di kalangan masyarakat awam.
Persepsi tersebut memang tidak keliru, menimbang semuanya berjalan dinamis dan sulit diprediksi. Terlebih, berbicara mengenai Pemilu 2029 saat ini terasa masih sangat "kepagian".
Namun, dalam politik semua bisa saja terjadi. Bahkan apa yang menurut sebagian orang mustahil, justru sekejap berubah menjadi kenyataan.
Karenanya, apapun bentuk wacana, kabar burung, rumor, isu hingga narasi liar yang berkembang, sepanjang ia berkaitan dengan kepentingan politik, maka semua punya peluang terbuka untuk menjadi benar.
*Menyingkap Faktor Popularitas KDM*
Sebelum jauh membahas apa yang mendasari popularitas KDM, barangkali perlu untuk diulas sedikit tentang siapa sebenarnya sosok KDM.
Bagi sebagian besar publik tanah air–jauh sebelum namanya begitu tenar di masyarakat–barangkali tidak begitu familiar dengan sosok KDM. Dan, ini wajar, menimbang KDM termasuk salah satu figur politik lokal yang namanya tidak sepopuler tokoh-tokoh politik seangkatannya, sebut saja Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Basuki Thahaja Purnama, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono dan lainnya.
Nama-nama yang disebutkan di atas meskipun mayoritas bukanlah figur (baca: elit) nasional dalam arti tidak memulai karir politik dari pusat kekuasaan, namun mayoritas masyarakat Indonesia sudah cukup familiar dengan mereka.
Sementara, KDM adalah seorang politisi lokal yang memulai karir politiknya dengan menjadi anggota DPRD Kabupaten Purwakarta sejak 1999-2004. Dalam perjalanan politiknya, ia tercatat pernah dua kali menjabat sebagai Bupati Purwakarta (2008-2013/2013-2018). Bak gayung bersambut, pada 23 April 2016, KDM terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat periode 2016-2020.
Pertanyaannya, apakah dengan sederet karir politik yang berhasil ia raih itu secara otomatis mengangkat namanya sejajar dengan figur-figur populer yang disebutkan di atas?
Jawabannya, bisa dilihat dari hasil survei yang dirilis sejumlah lembaga survei tanah air.
Sebut saja hasil survei DataSight yang merilis 10 figur nasional dengan elektabilitas tinggi. Prabowo Subianto berada di urutan pertama menurut survei itu, disusul Ganjar Pranowo di posisi kedua, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, dan AHY masing-masing menempati peringkat ke-3 hingga ke-6. Sementara urutan keenam sampai kesepuluh diduduki Puan Maharani, Khofifah Indar Parawansa, Erick Thohir dan Airlangga Hartarto.
Jika dilihat dari hasil survei di atas, KDM memang belum masuk dalam 10 figur dengan tingkat elektabilitas tertinggi saat survei itu dilakukan.
Jika demikian, apa sebenarnya yang membuat dirinya tiba-tiba mendadak populer hari-hari ini?
Pertanyaan ini tidak hanya memicu rasa penasaran publik, tapi juga memantik suasana psikologis para pemimpin daerah lainnya di seluruh Indonesia.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis mencoba melihatnya dari berbagai sisi. Pertama, faktor karakter kepemimpinan dan momentum.
Dalam lanskap kepemimpinan tanah air pasca Suharto, masyarakat mulai gandrung akan tipe pemimpin yang bergaya populis.
Seorang pemimpin populis ialah ia yang dekat dengan rakyatnya. Tidak ada jarak antara sang pemimpin dengan rakyat yang diperjuangkan.
Kebalikan dari tipe pemimpin populis ialah pemimpin elitis. Karakter pemimpin elitis cenderung menjaga jarang dengan massa rakyat. Ia sangat jarang terlibat atau hidup bersama rakyatnya.
Antony Lee (2017) mendefiniskan pemimpin populis sebagai sosok pahlawan yang didambakan rakyatnya.
Dalam konteks Indonesia, tipe pemimpin populis ini mulai populer seiring kemunculan Joko Widodo (Jokowi) dalam menerapkan gaya kepemimpinan "blusukannya".
Hal ini kemudian banyak menginspirasi calon kepala daerah lainnya. Termasuk, apa yang kini dilakukan KDM di Jawa Barat adalah bagian dari aktulisasi ciri kepempinan populis ini.
Memang, salah satu keunggulan dari gaya kepemimpinan ini ialah seorang pemimpin akan sangat disukai pengikutnya/pendukungnya karena dinilai dekat dengan rakyat.
Kedua, peran media. Terlepas dari kualitas individu yang dimiliki, peran media baik media massa maupun media sosial begitu signifikan dalam mengangkat citra KDM.
Tanpa peran media, apapun yang dilakukan KDM hanya akan menjadi konsumsi warga setepat dan pengaruhnya pun tidak seluas saat ini.
Jadi, karakter pribadi, gaya kepemimpinan dan peran media menjadi paket pelengkap dalam menggelembungkan nama KDM di tingkat nasional.
Dari sana faktor kedisukaan (likeability) terus menemukan momentum. Professor of psychology and neuroscience University of North Carolina at Chapel Hill, Mitch Prinstein menulis, apa yang membuat seseorang terkenal tak lain karena adanya faktor kedisukaan yang lahir dari cara dia membangun kedekatan dengan masyarakat.
"When it comes to likeability, one of the biggest factors is someone that acts in prosocial ways."
*Apa yang Harus Dilakukan para Kepala Daerah?*
Tren kepopuleran KDM di satu sisi membuat namanya melambung tinggi dalam jagat pemberitaan nasional, di sisi lain menimbulkan "kekhawatiran" yang tidak tampak (invisible reaction) pada para kepala daerah lainnya.
Situasi ini meski tidak terlihat di publik, namun bisa dipahami secara imajinatif (sociological imagination).
Ini mudah dipahami karena naiknya popularitas KDM secara tidak langsung mengalihkan seluruh pasang mata publik (nasional) ke sosok KDM dan Jawa Barat.
Masyarakat secara tidak langsung menjadikan KDM sebagai idola baru yang dianggap paling representatif sebagai seorang pemimpin daerah.
Masyarakat pun tanpa sadar memuji "habis-habisan" program atau kebijakan populis yang dicanangkan KDM di Jawa Barat, ambil contoh program pemutihan pajak kendaraan, evaluasi izin tambang, larangan tour luar negeri hingga pungli.
Sederet kebijakan tersebut bahkan dianggap sebagai terobosan besar yang patut diadopsi di daerah masing-masing.
Parahnya, ada yang sampai membanding-bandingkan sosok KDM dengan Gubernur terkait yang dinilai tidak becus mengurus daerah.
Lucunya, ada yang sampai meminta agar dilakukan penukaran terhadap Gubernur atau kepala daerah dengan sosok KDM.
Jelas bahwa pandangan-pandangan di atas selain bias fakta alias tidak relevan, juga turut membentuk persepsi negatif terhadap kepala daerah tertentu.
Padahal, mereka tidak mengerti kondisi aktual yang terjadi di setiap daerah. Mereka lupa bahwa tiap daerah punya kompleksitas masalah yang berbeda-beda, sehingga butuh penanganan yang berbeda pula.
Seorang kepala daerah yang cakap dan berhasil di satu daerah, belum tentu bisa berhasil ketika memimpin daerah lain.
Sebab, masyarakat yang dihadapi pasti tidak sama, budaya, permasalahan kronis, potensi daerah hingga kondisi birokrasi yang ada memiliki dimensi persoalan yang berbeda-beda yang tidak bisa digeneralisir begitu saja.
Ambil contoh, Jokowi di saat memimpin Kota Solo, termasuk salah satu kepala daerah yang paling sukses menata wilayahnya.
Namun, ketika ia memimpin DKI Jakarta yang tidak hanya berbeda dari segi ukuran demografis, tantangan lingkungan hidup, pembangunan infrastruktur hingga dinamika sosial yang kompleks membuatnya sedikit kewalahan, kalau bukan tidak seberhasil kala memimpin Solo.
Untuk itu, fenomena KDM ini semestinya menjadi satu refleksi bersama bahwa setiap pemimpin punya karakter dan caranya masing-masing dalam menjawab permasalahan yang ada di daerah.
Popularitas bukanlah sebuah parameter bahwa seseorang dianggap punya kualitas jauh di atas yang lain. Ini hanyalah tentang momentum dan cara seseorang menjadi dikenal luas, bukan tentang faktor seseorang lebih baik dari yang lain.
KDM hanyalah sosok kepala daerah yang ingin membangun Jabar dengan caranya. Ia termasuk salah satu putra dan pemimpin terbaik Jabar saat ini. Hanya saja di saat yang sama media secara solid menggelembungkan namanya.
Meski demikian, ini tidak berarti KDM adalah yang terhebat, sedangkan Gubernur atau kepala daerah yang lainnya tidak.
Ukuran tentang mana kepala daerah yang paling sukses dalam membangun daerahnya ditentukan dari seberapa efektif dan efisien anggaran yang digunakan untuk keperluan pembangunan dan pelayanan sosial.
Juga, seberapa kreatif mendorong akselerasi pembangunan dan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan.
Dan barometer ini belum bisa dinilai dari sekarang, menimbang para Gubernur, Bupati dan Wali Kota periode ini (2024-2029) baru saja bekerja dan bahkan belum genap setahun.
Sehingga masih terlalu dini untuk menyebut ada kepala daerah yang sukses dan yang lainnya gagal. Kini saatnya para pemimpin daerah membuktikan diri bahwa mereka tidak seburuk yang dipersepsikan orang lain, dan yang dianggap terbaik akan ada waktunya untuk dinilai secara objektif.
Ibarat perlombaan siapa paling cepat meletakkan susunan bola di dalam keranjang. Seseorang yang memulai memungut bola dari depan hingga bola paling belakang akan terlihat lebih cepat memasukkan ke dalam keranjang, ketimbang dia yang mencoba memungutnya dari belakang hingga ke depan.
Namun, esensi keberhasilan bukan terletak pada bagaimana publik menyaksikan perlombaan siapa paling terlihat tenar dan cepat di awal.
Sebab, mereka yang tampak lamban di awal, adalah justru yang menang di akhir karena mampu menghemat tenaga, energi dan waktu yang ada dalam perlombaan maraton.
Dari sini kita menarik kesimpulan bahwa ukuran keberhasilan seorang kepala daerah bukan dari seberapa cepat dan populer di awal (perlombaan kinerja), melainkan dia yang mampu menuntaskan segala tugas dan tanggung jawabnya selama 5 tahun masa memimpin.
Jika ia berhasil memanfaatkan waktu menjabatnya dengan menunaikan seluruh kewajibannya dengan baik dan memuaskan maka ialah sang pemenang sesungguhnya. Bukan sebaliknya.
*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia*
Editor: Nang obet